Thursday, March 15, 2007

pudarnya pesona cleopatra


Habiburrahman Al Saerozy. Kalau anda penggemar sastra kontemporer, tentu anda tau nama novelis yang lagi naek daun ini. 'Ayat-ayat cinta', novel percintaan yang unique dan tampak agak tak 'manusiawi' adalah karya yang membuat namanya melejit. Enak dibaca, sarat makna meski tampak impossible untuk terjadi di dunia nyata. Saya tidak akan cuap-cuap soal novel laris manis itu. Tapi tentang karyanya yang satu lagi "PUDARNYA PESONA CLEOPATRA". Dibanding ayat-ayat cinta, novel yang terbilang ringkas ini terasa lebih manusiawi dan lebih realistis. Novel tipis ini berkisah tentang seorang pria yang begitu terobsesi dengan kecantikan gadis mesir yang konon kabarnya sangat cantik bak cleopatra (padahal penemuan arkeologi terbaru memperlihatkan kalo cleopatra tidak secantik artis liz taylor yang memerankan dirinya loh). Saking tergila-gilanya dengan cewek mesir, dia sampe dengan teganya menafikan keberadaan istrinya yang asli turunan bidadari dari firdaus bernama Indonesia. Yah emang ga bisa ditolak lagi kalo fakta 'laki-laki mencintai lewat mata sementara wanita mencintai dengan hati' adalah benar adanya. Ada yang mo protes??!! silahkan aja.
Duh..terus terang saya jadi agak geram dengan makhluk yang namanya cowok, terlebih kalo saya inget obrolan saya dengan temen n senior2 saya yang berjenis kelamin laki2. Betapa wanita sering dipandang sebelah mata oleh para lelaki yang sok kuasa, sok pinter, sok cakep, sok ngeraja. Betapa ternyata kecantikan fisik lebih utama di mata para pria 'beragama' ketimbang kecantikan nurani.
Dan...applaus saya untuk pak saerozy yang telah dengan begitu legowonya memberitakan 'kebejatan' para pria yang selalu ijo melihat wanita cantik.
Well, saya suka ending cerita ini. Sang pria akhirnya tersadarkan dari 'kegilaannya' terhadap gadis mesir setelah dia mendengar kisah memilukan seorang pria yang kebetulan memperistri salah seorang turunan cleopatra itu sebab terpikat oleh kecantikannya. Wanita mesir memang cantik, tapi ternyata sangat matrealis sampai2 ia bisa menjadikan suaminya sebagai kacung untuk memenuhi selera kebendaannya. Setidaknya begitulah gambaran yang tertangkap dalam novel ini.
Akhir yang mengharukan. Pesona cleopatra akhirnya memudar di mata sang lelaki dan ketika ia mulai menyadari betapa istrinya adalah seorang bidadari yang jauh lebih cantik dari si cleopatra, sang istri yang setia, cerdas, dan penuh rasa cinta itu dipanggil oleh Kekasihnya, Sang Maha Mencinta. Lelaki itupun hanya bisa meraung di pusara istri yang telah di abaikannya itu. Yah...sesal memang selalu belakangan munculnya ya kan?!

Saya terpana membacanya dan saya yakin anda juga demikian bila anda membacanya. It is strongly recomended 4 men to read the novel. Setidaknya bisa membantu para pria melepas kacamata buramnya yang selalu melihat wanita dari kulitnya saja.

Special thx tuk miror d'mahat yang telah menyuruh Iq membaca novel manis ini. i like it gal ^_^.

1 comment:

nld said...

:-) ..nice posting....

buat yang belum baca...


Dengan panjang lebar ibu ennjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal." Ibunya
Raihana
adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu"
kata ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan
untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu",
ucap beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku
menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi
mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu
saja
dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian
tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan
dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas
kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan
anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama
sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa
jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain,
mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan
Cleopatra,
yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung
indah,
mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang
pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon
istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada ibuku,
tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk
dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah
dengan emapt group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk
hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris
dan
jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah
SWT
atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya
sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota
Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa
susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat
bersama
dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit
cintaku
belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh
tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana
mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang
jauh-jauh
rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang
dan
kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak
acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang
kerja.
Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia,
pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena
ia
orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab " tidak apa-apa
koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah
tangga" Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil
'mbak', " kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak
mencintaiku" tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. "wallahu a'lam"
jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama
kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas tidak
mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa
mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap
bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk
menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini".
Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena
Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi
kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap
melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan
kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum
kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang
aku
berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan
khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas mandi
dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih"
lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah siap"
kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi,
aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa
handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas dan
mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar
mandi
dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang
dilakukan ibu. " Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai
apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?" tanya Raihana sambil
menuntunku
ke kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus
kulakukan untuk membantu Mas". " Biasanya dikerokin" jawabku lirih. " Kalau
begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin" sahut Raihana sambil
tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya.
Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang
halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur
kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat
Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran
dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak
semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra. Dalam tidur aku bermimpi
bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya."
Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu"
kata Ratu Cleopatra. " Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran,
aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu". Aku
mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat
Mona
Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan
aku
duduk di kursi yang berhias berlian. Aku melangkah maju, belum sempat
duduk,
tiba-tiba " Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya"
kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. "
Maafkan
aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih Hana
sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun
cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin
tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi
apakah
dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari
mana
sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara
dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum
pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan
Cleopatra.
" Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan
datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng,
tidak
enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang" Suara lembut
Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia
letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. " MaâEUR¦.maaf
jika
mengganggu Mas, maafkan Hana," lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak
meninggalkan aku di ruang kerja. " Mbak! Eh maaf, maksudku D..DinâEUR¦Dinda
Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. " Ya Mas!"
sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan
dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil
"dinda". " Matanya sedikit berbinar. "TeâEUR¦terima kasihâEUR¦DiâEUR¦dinda, kita
berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah," ucapku sambil
menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan
wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. " Terima kasih
Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda
siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?". Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti
meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah
melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah
sedihnya
ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini,
kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap
dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi
hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku
mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri
di
dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa
sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami
dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. "
Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal
dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan
ubundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya
berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut
pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana
lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal?
Ideal
bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta
yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi
memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik
meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti
yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat.
Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku
di
mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali
menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia
mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing
dengan
sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang
keturunan. " Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada
tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku. "
Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah
begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan
mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku
berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku
hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri
aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku
memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung
tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku
semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi.
Setiap saat nuraniku bertanya" Mana tanggung jawabmu!" Aku hanya diam dan
mendesah sedih. " Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta" gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke
enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alas an
kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena
rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh
curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan,
Raihana berpesan, " Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong
nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no
pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita".
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku
tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya
bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.
Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di
Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku
pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku
benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut
mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah
menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin
dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku
dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku
terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati,
aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa,
andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak
terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi
aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen
mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab
dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mEsir. Dalam
pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab
dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman
hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. "Apakah kamu sudah
menikah?" kata Pak Qalyubi. "Alhamdulillah, sudah" jawabku. " Dengan orang
mana?. " Orang Jawa". " Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang
dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan
shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari
pesantren?". "Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran". " Kau
sangat beruntung, tidak sepertiku". " Kenapa dengan Bapak?" " Aku melakukan
langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu,
tentu batinku tidak merana seperti sekarang". " Bagaimana itu bisa
terjadi?". " Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank arena
terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini,
Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir
dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil,
orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya
lulus
dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari
Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan
rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak
gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan
pertama
saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya
bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata
perasaan
saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil.
Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau
sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua. Ketika saya
menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama
menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang
hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan
YAsmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetpai saya tetap teguh untuk
menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin. Yasmin
menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang
mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke
MEdan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia.
KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun
pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir
menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan
YAsmin.
Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga
lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta YAsmin untuk berhemat.
Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa. Aku
mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah
terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul
penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup
dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa
berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang
mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. YAsmin
tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir
biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka
rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu.
Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi
dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang
dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir. Saya menyesal
meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan
kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu
mengalah.
Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang
kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup
untuk
merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai
berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang
menyakitkan. " Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau
ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir". Kata
Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa
tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi
bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan
dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan
diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah
tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering
mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami
depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus
mendapat salinan surat nikah Yasmin dengann temannya. Hati saya sangat
sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang".
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya
menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku,
tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan
yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah
meminta
apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena
kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum
terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang
sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan
bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar
aku mencairkan tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin
membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin
memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak
langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang
tabungan,
yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas merah
jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya
aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat
cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku
serongâEUR¦.Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan
RabbiâEUR¦ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama
ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam
rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan
derita
yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan
ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan
betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu
ya
Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena
karunia-Mu
yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya
Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hambaâEUR¦âEUR¦" tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa" Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil
penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa
ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh
derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak
mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba
padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku
padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada
hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.
Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena
kelalaiannya.
Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba
masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap
berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat
mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan
cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu
ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau".
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang
luar
biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang.
Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada
putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk
kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam
keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam
jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana
yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu
kuat
mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku
tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku
dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air
mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua,
nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air
mataku.
Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu.
Aku jadi heran dan ikut menangis. " Mana Raihana Bu?". Ibu mertua hanya
menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah
terjadi.
" RaihanaâEUR¦istrimu..istrimu dan anakmu yang dikandungnya". " Ada apa
dengan
dia". " Dia telah tiada". " Ibu berkata apa!". " Istrimu telah meninggal
seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah
sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk
memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama
menyertaimu.
Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf
telah
dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya".
Hatiku
bergetar hebat. " KeâEUR¦kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?". " Ketika
Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk
menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus
katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu.
Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama
pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah
kami".

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan
cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah
meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah
meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf
dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan
perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan
pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari
wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu
dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali.
Dunia tiba-tiba gelap semua

Sumber :
Buku : Pudarnya Pesona Cleopatra ( Novel Psikologi Islam Pembangun Jiwa )
Karangan : Habiburrahman El Shirazy ( Penulis Novel best seller Ayat-ayat
cinta)