tag:blogger.com,1999:blog-30863271.post3222385922883775040..comments2023-03-17T21:57:14.922+07:00Comments on Words r WORLD: pudarnya pesona cleopatraIq caniagohttp://www.blogger.com/profile/17338654727940435878noreply@blogger.comBlogger1125tag:blogger.com,1999:blog-30863271.post-36173621951146758102007-03-16T07:52:00.000+07:002007-03-16T07:52:00.000+07:00:-) ..nice posting....buat yang belum baca... Deng...:-) ..nice posting....<BR/><BR/>buat yang belum baca... <BR/><BR/><BR/>Dengan panjang lebar ibu ennjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal." Ibunya<BR/>Raihana<BR/>adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu"<BR/>kata ibu.<BR/>"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan<BR/>untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu",<BR/>ucap beliau dengan nada mengiba.<BR/>Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku<BR/>menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi<BR/>mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.<BR/>Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun<BR/>sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu<BR/>saja<BR/>dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian<BR/>tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan<BR/>dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas<BR/>kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan<BR/>anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama<BR/>sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa<BR/>jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain,<BR/>mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan<BR/>Cleopatra,<BR/>yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung<BR/>indah,<BR/>mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang<BR/>pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon<BR/>istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada ibuku,<BR/>tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk<BR/>dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah<BR/>dengan emapt group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk<BR/>hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris<BR/>dan<BR/>jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah<BR/>SWT<BR/>atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!<BR/>Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya<BR/>sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.<BR/>Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan<BR/>kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota<BR/>Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa<BR/>susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat<BR/>bersama<BR/>dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit<BR/>cintaku<BR/>belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh<BR/>tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana<BR/>mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang<BR/>jauh-jauh<BR/>rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang<BR/>dan<BR/>kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak<BR/>acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang<BR/>kerja.<BR/>Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia,<BR/>pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.<BR/>Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena<BR/>ia<BR/>orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab " tidak apa-apa<BR/>koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah<BR/>tangga" Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil<BR/>'mbak', " kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak<BR/>mencintaiku" tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. "wallahu a'lam"<BR/>jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama<BR/>kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas tidak<BR/>mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?<BR/>Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa<BR/>mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap<BR/>bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk<BR/>menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini".<BR/>Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena<BR/>Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi<BR/>kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap<BR/>melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan<BR/>kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum<BR/>kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang<BR/>aku<BR/>berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan<BR/>khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas mandi<BR/>dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih"<BR/>lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah siap"<BR/>kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi,<BR/>aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa<BR/>handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas dan<BR/>mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar<BR/>mandi<BR/>dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang<BR/>dilakukan ibu. " Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai<BR/>apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?" tanya Raihana sambil<BR/>menuntunku<BR/>ke kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus<BR/>kulakukan untuk membantu Mas". " Biasanya dikerokin" jawabku lirih. " Kalau<BR/>begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin" sahut Raihana sambil<BR/>tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya.<BR/>Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang<BR/>halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur<BR/>kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat<BR/>Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran<BR/>dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak<BR/>semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra. Dalam tidur aku bermimpi<BR/>bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya."<BR/>Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu"<BR/>kata Ratu Cleopatra. " Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran,<BR/>aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu". Aku<BR/>mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat<BR/>Mona<BR/>Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan<BR/>aku<BR/>duduk di kursi yang berhias berlian. Aku melangkah maju, belum sempat<BR/>duduk,<BR/>tiba-tiba " Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya"<BR/>kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. "<BR/>Maafkan<BR/>aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih Hana<BR/>sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun<BR/>cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin<BR/>tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi<BR/>apakah<BR/>dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.<BR/>Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari<BR/>mana<BR/>sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara<BR/>dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum<BR/>pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan<BR/>Cleopatra.<BR/>" Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan<BR/>datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng,<BR/>tidak<BR/>enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang" Suara lembut<BR/>Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia<BR/>letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.<BR/>Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. " MaâEUR¦.maaf<BR/>jika<BR/>mengganggu Mas, maafkan Hana," lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak<BR/>meninggalkan aku di ruang kerja. " Mbak! Eh maaf, maksudku D..DinâEUR¦Dinda<BR/>Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. " Ya Mas!"<BR/>sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan<BR/>dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil<BR/>"dinda". " Matanya sedikit berbinar. "TeâEUR¦terima kasihâEUR¦DiâEUR¦dinda, kita<BR/>berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah," ucapku sambil<BR/>menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan<BR/>wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. " Terima kasih<BR/>Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda<BR/>siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?". Hana begitu bahagia.<BR/>Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti<BR/>meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah<BR/>melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah<BR/>sedihnya<BR/>ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini,<BR/>kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap<BR/>dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi<BR/>hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku<BR/>mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri<BR/>di<BR/>dunia ini.<BR/>Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa<BR/>sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami<BR/>dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. "<BR/>Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal<BR/>dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan<BR/>ubundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya<BR/>berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut<BR/>pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana<BR/>lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal?<BR/>Ideal<BR/>bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta<BR/>yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi<BR/>memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik<BR/>meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti<BR/>yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat.<BR/>Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku<BR/>di<BR/>mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali<BR/>menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia<BR/>mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing<BR/>dengan<BR/>sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang<BR/>keturunan. " Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada<BR/>tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku. "<BR/>Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah<BR/>begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan<BR/>mengangguk sekenanya.<BR/>Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku<BR/>berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku<BR/>hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri<BR/>aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku<BR/>memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.<BR/>Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung<BR/>tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku<BR/>semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi.<BR/>Setiap saat nuraniku bertanya" Mana tanggung jawabmu!" Aku hanya diam dan<BR/>mendesah sedih. " Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta" gumamku.<BR/>Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke<BR/>enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alas an<BR/>kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena<BR/>rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh<BR/>curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan,<BR/>Raihana berpesan, " Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong<BR/>nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no<BR/>pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita".<BR/>Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku<BR/>tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya<BR/>bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.<BR/>Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di<BR/>Mesir.<BR/>Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku<BR/>pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku<BR/>benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut<BR/>mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah<BR/>menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin<BR/>dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku<BR/>dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku<BR/>terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati,<BR/>aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa,<BR/>andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak<BR/>terlambat sholat subuh.<BR/> Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi<BR/>aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen<BR/>mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab<BR/>dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mEsir. Dalam<BR/>pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab<BR/>dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman<BR/>hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. "Apakah kamu sudah<BR/>menikah?" kata Pak Qalyubi. "Alhamdulillah, sudah" jawabku. " Dengan orang<BR/>mana?. " Orang Jawa". " Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang<BR/>dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan<BR/>shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari<BR/>pesantren?". "Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran". " Kau<BR/>sangat beruntung, tidak sepertiku". " Kenapa dengan Bapak?" " Aku melakukan<BR/>langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu,<BR/>tentu batinku tidak merana seperti sekarang". " Bagaimana itu bisa<BR/>terjadi?". " Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank arena<BR/>terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini,<BR/>Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir<BR/>dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil,<BR/>orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya<BR/>lulus<BR/>dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari<BR/>Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan<BR/>rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak<BR/>gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan<BR/>pertama<BR/>saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya<BR/>bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata<BR/>perasaan<BR/>saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil.<BR/>Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau<BR/>sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua. Ketika saya<BR/>menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama<BR/>menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang<BR/>hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan<BR/>YAsmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetpai saya tetap teguh untuk<BR/>menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin. Yasmin<BR/>menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang<BR/>mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke<BR/>MEdan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia.<BR/>KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun<BR/>pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir<BR/>menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan<BR/>YAsmin.<BR/>Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga<BR/>lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta YAsmin untuk berhemat.<BR/>Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa. Aku<BR/>mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah<BR/>terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul<BR/>penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup<BR/>dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa<BR/>berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang<BR/>mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. YAsmin<BR/>tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir<BR/>biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka<BR/>rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu.<BR/>Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi<BR/>dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang<BR/>dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir. Saya menyesal<BR/>meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan<BR/>kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu<BR/>mengalah.<BR/>Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang<BR/>kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup<BR/>untuk<BR/>merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai<BR/>berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang<BR/>menyakitkan. " Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau<BR/>ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir". Kata<BR/>Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa<BR/>tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi<BR/>bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan<BR/>dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan<BR/>diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah<BR/>tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering<BR/>mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami<BR/>depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus<BR/>mendapat salinan surat nikah Yasmin dengann temannya. Hati saya sangat<BR/>sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang".<BR/>Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya<BR/>menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku,<BR/>tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan<BR/>yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah<BR/>meminta<BR/>apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena<BR/>kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum<BR/>terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang<BR/>sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan<BR/>bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar<BR/>aku mencairkan tabungannya.<BR/>Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin<BR/>membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin<BR/>memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak<BR/>langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang<BR/>tabungan,<BR/>yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas merah<BR/>jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya<BR/>aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat<BR/>cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku<BR/>serongâEUR¦.Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan<BR/>RabbiâEUR¦ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama<BR/>ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam<BR/>rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan<BR/>derita<BR/>yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan<BR/>ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan<BR/>betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.<BR/>"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu<BR/>ya<BR/>Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena<BR/>karunia-Mu<BR/>yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya<BR/>Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hambaâEUR¦âEUR¦" tulis Raihana.<BR/>Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa" Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil<BR/>penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa<BR/>ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh<BR/>derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak<BR/>mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba<BR/>padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku<BR/>padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada<BR/>hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.<BR/>Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena<BR/>kelalaiannya.<BR/>Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba<BR/>masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap<BR/>berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat<BR/>mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan<BR/>cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu<BR/>ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau".<BR/>Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang<BR/>luar<BR/>biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang.<BR/>Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada<BR/>putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk<BR/>kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam<BR/>keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam<BR/>jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana<BR/>yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu<BR/>kuat<BR/>mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku<BR/>tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku<BR/>dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air<BR/>mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua,<BR/>nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air<BR/>mataku.<BR/>Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu.<BR/>Aku jadi heran dan ikut menangis. " Mana Raihana Bu?". Ibu mertua hanya<BR/>menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah<BR/>terjadi.<BR/>" RaihanaâEUR¦istrimu..istrimu dan anakmu yang dikandungnya". " Ada apa<BR/>dengan<BR/>dia". " Dia telah tiada". " Ibu berkata apa!". " Istrimu telah meninggal<BR/>seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah<BR/>sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk<BR/>memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama<BR/>menyertaimu.<BR/>Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf<BR/>telah<BR/>dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya".<BR/>Hatiku<BR/>bergetar hebat. " KeâEUR¦kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?". " Ketika<BR/>Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk<BR/>menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus<BR/>katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu.<BR/>Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama<BR/>pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah<BR/>kami".<BR/><BR/>Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan<BR/>cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah<BR/>meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah<BR/>meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf<BR/>dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan<BR/>perasaan bersalah tiada terkira.<BR/>Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan<BR/>pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari<BR/>wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu<BR/>dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali.<BR/>Dunia tiba-tiba gelap semua<BR/><BR/>Sumber :<BR/>Buku : Pudarnya Pesona Cleopatra ( Novel Psikologi Islam Pembangun Jiwa )<BR/>Karangan : Habiburrahman El Shirazy ( Penulis Novel best seller Ayat-ayat<BR/>cinta)nldhttps://www.blogger.com/profile/13703199659268669949noreply@blogger.com